Masjid agung banten yang dibangun Sultan Maulana Hasanuddin dan sejarah masa lalunya ini sebenarnya sudah diterbitkan tips wisata murah pada bulan November 2010 dalam serial Masjid masjid Bersejarah Wisata Religi Karena durasinya terlalu panjang yang bergabung dengan sejarah masjid indonesia lainnya, maka artikel ini tidak terbaca oleh pembaca. Sekarang mari kita ikuti penuturan Bambang Setia Budi yang melalui beberapa saduran. karena artikel asli masjid banten ini kami pikir telalu panjang. Mari kita mulai
Masjid Agung Banten
Oleh: Bambang Setia Budi
Masjid Agung Banten, sebagaimana masjid tua dan bersejarah, selalu diramaikan para peziarah tiap hari dari berbagai daerah di Jawa pada umumnya.
Kompleks bangunan masjid ini ada di Desa Banten Lama, sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten, .
Masjid Agung Banten -dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), Selain sebagai tempat ibadah, juga menjadi obyek wisata riligi,
Menurut orang dulu, Masjid Agung Banten sejak awalnya beratap tumpuk lima, namun pada abad ke-17 pernah diubah menjadi tiga. Hal demikian dimungkinkan karena dua atap tumpuk teratas sebenarnya hanya atap tambahan yang ditopang tiang pusat
Yang paling menarik dari atap Masjid Agung Banten adalah justru pada dua tumpukan atap konsentris paling atas yang samar-samar mengingatkan idiom pagoda Cina. Kedua atap itu berdiri tepat di atas puncak tumpukan atap ketiga dengan sistem struktur penyalur gaya yang bertemu pada satu titik. Peletakan seperti itu memperlihatkan kesan seakan-akan atap dalam posisi kritis dan mudah goyah, namun hal ini justru menjadi daya tarik tersendiri.
Dua tumpukan atap paling atas itu tampak lebih berfungsi sebagai mahkota dibanding sebagai atap penutup ruang bagian dalam bangunan. Tak heran jika bentuk dan ekspresi seperti itu sebetulnya dapat dibaca dalam dua penafsiran: masjid beratap tumpuk lima atau masjid beratap tumpuk tiga dengan ditambah dua mahkota di atasnya sebagai elemen estetik.
Elemen menarik lainnya adalah menara di sebelah timur yang besar dan monumental serta tergolong unik karena belum pernah terdapat bentuk menara seperti itu di Jawa, bahkan di seluruh Nusantara. Dikarenakan menara bukanlah tradisi yang melengkapi masjid di Jawa pada masa awal, maka Masjid Agung Banten termasuk di antara masjid yang mula-mula menggunakan unsur menara di Jawa.
Tradisi menyebutkan, menara berkonstruksi batu bata setinggi kurang lebih 24 meter ini dulunya konon lebih berfungsi sebagai menara pandang/ pengamat ke lepas pantai karena bentuknya yang mirip mercusuar daripada sebagai tempat mengumandangkan azan. Yang jelas, semua berita Belanda tentang Banten hampir selalu menyebutkan menara tersebut, membuktikan menara itu selalu menarik perhatian pengunjung Kota Banten masa lampau.
Berita itu menunjukkan pula menara telah dibangun tidak berselang lama dengan pembangunan masjid. Dari hasil penelusuran Dr KC Crucq, yang pernah dimuat dalam karangannya berjudul Aanteekeningen Over de Manara te Banten (Beberapa Catatan tentang Menara di Banten) yang dipublikasikan dalam Tidscrift Voor de Indische Taal, Land and Volkenkunde van Nederlandsch Indie, dinyatakan, menara dibangun pada masa Sultan Maulana Hasanudin ketika putranya Maulana Yusuf sudah dewasa dan menikah.
Namun, dari sisi ragam hias, menara Masjid Agung Banten tampak terpengaruh seni ragam hias yang terdapat di Jawa, seperti hiasan kepala menara berbentuk dagoba atau hiasan segi tiga memanjang yang dikenal sebagai tumpal. Keduanya banyak dijumpai pada Candi Jago di Jawa Timur dan candi-candi lainnya. Bahkan, motif relung pada pintu menara seakan-akan merupakan penyederhanaan motif kala-makara dalam tradisi kebudayaan Indonesia pra-Islam seperti juga dekorasi mihrab Masjid Agung Kasepuhan di Cirebon.
SEBENARNYA masih banyak elemen unik lainnya yang secara singkat dapat disebutkan, seperti adanya umpak dari batu andesit berbentuk labu berukuran besar dan beragam pada setiap dasar tiang masjid. Yang berukuran paling besar dengan garis labu yang paling banyak adalah umpak pada empat tiang saka guru di tengah-tengah ruang shalat. Ukuran umpak besar ini tidak akan kita temui di sepanjang Pulau Jawa, kecuali di bekas reruntuhan salah satu masjid Kasultanan Mataram di Plered, Yogyakarta.
Selain itu, terdapat mimbar yang besar dan antik penuh hiasan dan warna. Tempat khotbah ini merupakan wakaf Nyai Haji Irad Jonjang Serang pada tanggal 23 Syawal 1323 Hijriyah (1903 M) sebagaimana tertulis dalam huruf Arab gundul pada penampil lengkung bagian atas muka mimbar. Berbeda dari mimbarnya yang menarik perhatian, mihrabnya (tempat imam memimpin shalat) yang berbentuk ceruk justru sangat kecil, sempit dan sederhana. Ini sangat berbeda dari mihrab yang berkembang pada masjid di belahan dunia lain.
Adanya pendopo dan kolam untuk wudu di sebelah timur melengkapi karakteristik masjid Jawa umumnya. Tiang pendopo yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf itu juga menggunakan umpak batu labu dengan bentuk bangunan dan teknik konstruksi tradisional Jawa.
Tradisi masjid agung banten yang dibangun Sultan Maulana Hasanuddin yang membumi,sampai ramadhan tahun ini masih ramai dikunjungi. Seperti yang pernah tips wisata murah terbitkan pada perjalanan wisata religius ziarah makam wali dijawa barat beberapa bulan lalu. Masjid banten masih jadi tujuan utama wisata religi di provinsi Banten Indonesia
No comments:
Post a Comment